Sejak orang Islam datang dan bermukim di Nusantara ini, dan bahkan sebelum Belanda datang, hukum Islam telah berlaku sebagai hukum yang bersifat mandiri, tumbuh dan berkembang di samping kebiasan atau adat penduduk Nusantara ini, serta telah menjadi kenyataan yang hidup dalam sendi-sendi kehidupan mereka. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia pada masa itu juga telah melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing masing. Kerajaan Samudera Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, menganut mazhab Syafi’i. Menurut Hamka (w. 1981 M), dari Kerajaan Samudera Pasai inilah hukum Islam mazhab Syafi’i disebarkan ke kerajaan-kerajaan lainnya di Indonesia.
Hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia dapat dibagi dua, yaitu : (1) Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis yaitu (sebagian) hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda di dalam masyarakat, yang disebut dengan istilah mu’amalah. Artinya, bagian dari hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan peraturan perundang-undangan, seperti hukum perkawinan, hukum kewarisan dan wakaf. Bagian hukum ini memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya secara sempurna; dan (2) Hukum Islam yang berlaku secara normatif yaitu (bagian) hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti kaidah hukum Islam tentang pelaksanaan ibadah-ibadah murni : shalat, puasa, zakat dan lain-lain; juga tentang kesadaran manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berjudi, mencuri, berzina, dan lain-lain. Bagian hukum ini tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya. Dijalankan atau tidaknya hukum Islam yang bersifat normatif ini bergantung pada tingkatan iman dan takwa serta akhlak umat Islam itu sendiri; atau dengan kata lain, pelaksanaannya bergantung pada kuat atau lemahnya kesadaran masyarakat muslim mengenai norma-norma hukum yang bersifat normatif itu.
Kedua bentuk hukum Islam di atas didasarkan dari pemahaman terhadap hasil ijtihad yang dilahirkan
oleh para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal), khususnya mazhab Syafi’i, yang ternyata pengaruhnya begitu besar dan banyak diterapkan dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin di Indonesia. Sudah menjadi maklum adanya bahwa di antara keempat mazhab tersebut terdapat kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan antara satu sama lainnya. Hal ini dapat dipahami karena kesimpulan hukum yang dilahirkan oleh para imam mazhab itu adalah hasil dari ijtihad mereka yang murni dan penuh tanggung jawab Ilâhiyah berdasarkan sumber-sumber hukum yang utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, ditambah dengan Ijma’ Sahabat, dan Qiyas, yang mana jika terjadi perbedaan dalam memahami sumber sumber hukum tersebut maka akan menyebabkan perbedaan pula dalam mengambil kesimpulan hukumnya. Pendapat para imam mazhab inilah yang seringkali diistilahkan dengan Fikih Mazhab, yang ternyata pengaruhnya masih sangat kuat di kalangan masyarakat muslimin Indonesia, sehingga ada sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa jika keluar dari ajaran mazhab-mazhab yang empat bahkan menyimpang dari ajaran salah satu imam empat tersebut, maka berakibat akan dikucilkan dari masyarakat. Hal ini mengakibatkan ketidakberanian dalam mengeluarkanpendapat dan mengembangkan akal pikiran sehingga umat jatuh dalam kebekuan ijtihad dan hanya bertaklid saja.
Detail
Penulis: Saiful Millah
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2018
Halaman: xii+ 308 hlm
ISBN: 978-602-5576-12-6
Catatan: