Wednesday, April 25, 2018

Hadiah dan Sanksi dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik

Hadiah dan Sanksi dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik
(Studi Kasus Pesantren Modern Daarul Muhsinin Sumatera Utara)


Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki visi membangun karakter siswa melalui pembinaan sikap dan amaliah keberagamaan yang didahului dengan pembinaan pengetahuan. Pembinaan sikap tersebut dimulai dari adanya penerimaan, penyikapan, penanaman nilai, pengorganisasian nilai dan pengkaderan diri dengan melalui proses pendalaman dan internalisasi nilai ke dalam jiwa, sehingga siswa memiliki kayakinan dan nilai-nilai agama yang kuat sebagai identitasnya untuk bergerak.

Dalam proses belajar mengajar (PBM) seorang pendidik (guru) secara langsung akan mempengaruhi setiap karakter, mental bahkan kualitas belajar anak dengan beragam latar belakang yang berbeda. Langa mengatakan bahwa hadiah dan sanksi memiliki peran utama dalam strategi perubahan perilaku. Banyak strategi yang dapat digunakan oleh pendidik dalam mempengaruhi sikap anak didik yang salah satunya dengan menggunakan hadiah dan sanksi. Sekolah harus memiliki keseimbangan yang sehat dalam penerapan sanksi dan hadiah, dan menyertakan item yang memiliki kredibilitas dan akseptabilitas penerapannya bagi semua siswa. Karena penghayatan terhadap nilai-nilai agama berpangkal pada kepatuhan yang dipengaruhi oleh otoritas tertentu untuk mengamalkan suatu nilai, misalnya otoritas orangtua atau guru.

Hadiah dan sanksi merupakan alat pendidikan, jika diterapkan secara tepat dan bijak dapat menjadi alat motivasi untuk meningkatkan prestasi siswa dan juga meminimalisir perilaku menyimpang dan pelanggaran tata tertib. Karena hadiah merupakan bentuk penguatan (reinforcement) yang positif sedangkan sanksi sebagai bentuk penguatan (reinforcement) yang negatif. Rasyidin mengatakan bahwa penerpana hadiah dan sanksi dilatari oleh pertimbangan filosofis yang mengacu pada karakter dasar manusia (the nature of man), yaitu pertama: manusia memiliki sifat khilaf dan lupa. Maka hadiah dan sanksi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengingkatkan dan menyadarkan diri peserta didik akan kekhilafan dan kealpaan yang telah dilakukannya agar kelak ia memiliki sikap hati-hati dalam bertindak dan berprilaku; kedua: manusia sebagai makhluk yang cenderung pada kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan hidup serta tidak menyukai kesulitan, kepedihan dan penderitaan. Dan hukuman tanpa adanya penderitaan fisik dan emosional tidak akan berbekas.


Detail:
Penulis: Machatir Muhammad Dongoran
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2017
Halaman: x + 196 hlm
ISBN:  978-602-7775-80-0



Catatan:

silahkan membaca online pada tombol dibawah ini
untuk mengutif gunakan sesuai aturan yang berlaku

semoga buku ini bermanfaat dan menjadi amal baik bagi penulis







Thursday, April 19, 2018

Metode Ibn Hajar Al-Asqalani

Metode Ibn Hajar Al-Asqalani
dalam Menyelesaikan Hadis-Hadis Mukhtalif

Diketahui dengan jelas bahwa langkah hirarkis-metodis Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif adalah sebagai berikut:

Pertama, hadis-hadis mukhtalif hendaknya diselesai kan dengan metode al-jam‘u (kompromi). Metode ini paling pertama dan utama yang digunakan Ibn Hajar ketika dihadapkan dengan hadis-hadis mukhtalif. Dari sample yang penulis ambil dari kitab Fath al-Bârî, yaitu kitâb al Wudu’, kitâb al-Ghusl, kitâb al-Jum’ah, kitâb mawâqît al Salâh, kitâb al-Siyâm, dan kitâb al-nikâh, mayoritas hadis hadis tersebut diselesaikannya dengan metode al-jam’û. Adapun perangkat pendekatan dari metode al-jam‘u yang Ibn Hajar gunakan adalah: 1) menggunakan pendekat an Usûl al-Fiqh; 2) pendekatan ta’wîl; 3) pendekatan kontektual; 4) al-Jam‘u al-ahâdîts al-wâridah fî maudi‘ al wâhid; Jika metode pertama ini tidak dapat dilakukan, sebagai metode kedua ditempuh yaitu metode al-Naskh. Metode kedua ini digunakan Ibn Hajar dengan menggunakan fakta historis berkaitan dengan mana hadis yang datang lebih dahulu dan mana yang belakangan. Sehingga ketika diketahui hal itu, bisa ditentukan bahwa hadis yang datang lebih dahulu di-mansûkh atau dihapus hukumnya dengan hadis yang muncul belakangan (al-nâsikh). 

Apabila tidak dijumpai fakta historis yang valid tentang hadis-hadis mukhtalif tersebut, maka mekanisme berikutnya adalah menggunakan metode al-tarjîh, yakni dengan membandingkan hadis-hadis tersebut manakah di antaranya yang lebih kuat atau yang lebih tinggi kualitas sanad, matan dan faktor pendukungnya. Jika salah satu hadis tersebut menunjukkan kelebihan dari yang lain, maka yang lebih kuatlah yang harus dipegang dan diamalkan, sedangkan yang lain ditinggalkan.

Detail:
Penulis: Ahmad Fudhail
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2017
Halaman: xii + 166 hlm
ISBN:  978-602-7775-75-6


Catatan:

silahkan membaca online pada tombol dibawah ini
untuk mengutif gunakan sesuai aturan yang berlaku

semoga buku ini bermanfaat dan menjadi amal baik bagi penulis







Tuesday, April 17, 2018

Mengkaji Tafsir Sufi Karya Ibnu 'Ajibah

Mengkaji Tafsir Sufi Karya Ibnu 'Ajibah
Kitab al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur'an al-Majid

Dalam diskursus tafsir al-Qur’an dikenal berbagai macam corak penafsiran, salah satunya adalah tafsir dengan corak sufistik. Corak ini mempunyai karakteristik khusus, hal ini tidak terlepas dari epistemologi yang dipakai oleh kaum sufi sendiri, yakni epistemologi irfani. Tafsir sufi berangkat dari asumsi bahwa al-Qur’an memiliki makna zahir dan batin. Menurut kalangan sufi, menafsirkan al-Qur’an berdasarkan analisis kebahasaan saja tidak cukup, dan hal itu dipandang baru memasuki tataran makna (eksoteris) saja, yang oleh para sufi dinilai sebagai tataran badan al-aqidah (tubuh akidah).

Sementara model tafsir sufi menempati posisi ruhnya (esoteris). Untuk memperoleh pengetahuan tentang makna batin al-Qur’an seorang sufi terlebih dahulu harus melakukan latihan rohani (riyadah al-Ruhiyah) agar dapat menyingkap isyarat suci sebagai limpahan gaib, atau pengetahuan subhani yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi keberadaan tafsir sufi ditengah-tengah ‘’menjamurnya’’ tafsir eksoterik, yang lebih mengedepankan makna zahir teks tidak lantas diterima begitu saja oleh para pengkaji al-Qur’an. Kehadiran tafsir sufistik justru menjadi pro-kontra dialekstis, baik dari kalangan orientalis (outsider) maupun Islam (insider). Perdebatan seputar tafsir sufi terdiri dari dua hal; (1) dari mana makna-makna tersebut diperoleh oleh mufassir, (2) apa motif penafsiran seorang sufi menuliskan tafsirnya. Kedua hal ini masuk dalam kajian epistemologi sufi. Bagi kalangan yang pro terhadap tafsir ini meyakini bahwa penafsiran seorang sufi merupakan suatu limpahan ilahiah atau bersumber langsung dari Allah, melalui rangkaian riyadah al-nafs atau suluk (jalan menuju Allah). Sedangkan motif dan tujuan dari penafsiran tersebut untuk menjelaskan makna yang belum tersingkap dari redaksi tekstual ayat.

Detail:
Penulis: Moh.Azwar Hairul
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2017
Halaman: xii + 198 hlm
ISBN: 978-602-7775-73-2



Catatan:

silahkan membaca online pada tombol dibawah ini
untuk mengutif gunakan sesuai aturan yang berlaku

semoga buku ini bermanfaat dan menjadi amal baik bagi penulis







Kematangan Spiritual dan Kompetensi Toleransi: Menakar Peran dan Tantangan FKUB DKI Jakarta

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dibentuk berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8...